Satu Tahun Merasa Tidak berguna!

Hai...
Aku kembali menggunakan blog ini sebagai diary atau curhatan selama menjalani hari menjadi pengangguran. Pengangguran?
Yup, pengangguran yang sudah berjalan 1 tahun 1 bulan. Sangat lama kan. Tentu saja. Dan rasanya seperti dineraka. Kok bisa?
Akan aku ceritakan senang sedih kehidupanku selama setahun ini.
Tapi sebelum itu, aku akan ceritakan cerita singkat pekerjaanku sebelum akhirnya menjadi pengangguran akut.

Oktober 2017, akhirnya aku lulus mendapat gelar S1 - Ekonomi Manajemen disalah satu universitas swasta ternama di DKI Jakarta, dengan IPK yang cukup untuk standar lulusan universitas swasta diterima kerja.
Setelah lulus sidang, aku memang langsung apply CV secara online maupun datang ke job fair yang masih bisa dijangkau dari kontrakan aku. (Btw, aku tinggal, ngontrak bersama adik ku yang saat itu masih kuliah semester awal-awal.)
Kok buru-buru cari kerja, padahal belum wisuda? Jawaban aku sederhana saja, yaitu uang.
Aku anak rantai dari beda pulau dengan tempat aku kuliah. Keuangan keluarga aku terbatas walaupun bapak aku PNS. (PNS gak menjamin punya uang cukup, yang ada gali lubang tutup lubang untuk membiayai keluarga.)
Aku cari kerja tanpa mikir kerjaan itu apa, gaji berapa, yang penting halal.
Puji Tuhan, seminggu setelah wisuda, aku dapat email dari perusahaan swasta yang bergerak di bidang retail obat dan alat kesehatan. Aku menjalani test psikotes yang berlakosi dekat dengan kontrakan aku. Testnya berlangsung 2 jam lebih dengan soal berjibun-jibun.
Dua minggu berlalu tidak juga ada email pengumuman kelulusan. Aku sudah pasrah tidak diterima mengingat soal-soal psikotes yang banyak dan sangat sulit.

November 2017, diawal bulan aku dapat dua telepon dari induk perusahaan dan anak perusahaan tersebut. Yang pertama menelepon adalah salah satu manajer anak perusahaan. Dia menyatakan hasil psikotesku baik dan cocok untuk mereka. Tapi permasalahannya bukan bidang yang aku lamar. Awalnya aku sangat ragu karena sejak kuliah aku tidak begitu memberi perhatian untuk matakuliah itu. Tapi balik lagi mengingat keadaan yang sangat membutuhkan uang, akhirnya aku terima. Menentukan jadwal untuk interview.
Nah, tidak berselang lama dari itu, induk perusahaan juga menghubungi aku, dan menyatakan hasil psikotes cocok untuk mereka. Aku bingung saat itu. Kok bisa satu kelompok perusahaan bisa merekrut orang yang sama. Aku mempertanyakan kinerja HRD-nya. (Tapi itu sudah cerita lama, lupakan.) Aku menolak induk perusahaan.
Hari H jadwal interview ke anak perusahaan itu, terjadilah drama, pergejolakan setelah mencari tahu tentang perusahaan itu dari mbah google, lebih tepatnya kaskus (kalian para pencari kerja pasti sangat tahu tentang website ini.) Banyak penilaian yang tidak baik dari orang yang mau melamar bahkan yang pernah kerja diperusahaan itu disana. Galaulah aku.
Padahal aku sudah rapi siap berangkat dengan segala keraguan, akhirnya aku telepon abang aku yang dulu pernah kerja di induk perusahaan itu. (Abang aku kerja disana 7-8 tahun.)
Awalnya abang aku kaget aku diterima diperusahaan itu. Dia kasih tahu bagaimana kerja disana, dan bagaimana kerasnya kerja disana. Aku takut tentunya. Tapi abang aku kasih nasehat, untuk freshgraduate, kerja disana adalah pengalaman yang sangat baik. Nah bermodalkan kalimat terakhir inilah aku menguatkan tekat untuk datang interview.
Setelah kisah panjang selama interview, akhirnya aku berkerja disana diminggu kedua bulan november.

Januari 2019, mulai merasa jenuh dengan pekerjaan dan lingkungan kerja yang semakin tidak sehat setelah satu setengah tahun. Konflik disana-sini dalam tim membuat jiwa pemberontakku muncul (darah batak cuy). Ini bukan dengan rekan kerja ya, justru rekan kerja aku saat itu hingga sekarang masih menjalin hubungan yang baik dan masih memiliki grup chat. Lalu masalahnya ada dimana? Tentu saja dengan atasan, alias orang yang interview aku dulu.

Maret 2019, diakhir bulan maret keadaan semakin kacau. Sebenarnya konfliknya bukan antara aku dan atasan, tapi rekan kerja setim. Konflik ini pun berimbas buat aku dan rekan yang lain. Pengancaman gaji, insentif ditahan dan lain-lainnya yang semakin rumit. Namun karena tahu bagaimana sifat dari atasan, dan mulai muak, akhirnya aku mengajukan resign tanpa memikirkan belum dapat pekerjaan pengganti. Disusul juga rekan aku yang bermasalah langsung dengan atasan aku itu, dan juga SPV ikut mengajukan resign. Mungkin buat orang lain pasti menilai aku gegabah. Tapi saat itu aku sudah ada difase muak dengan lingkungan kerja yang penuh orang-orang dengan pikiran kotornya.

April 2019, akhirnya aku resign. Ketika resign pun masih ada drama dan konflik dengan mantan atasan dan HRD yang terkesan sangat mempersulit karyawannya untuk keluar. (Satu info, cukup kalian yang membaca ini saja yang tahu, perusahaan ini menahan ijazah.) Mudah-mudahan kalian tidak melamar diperusahaan seperti ini. Nah karena ijazah ini aku sempat mengancam mantan atasan aku itu akan membawa kejalur hukum (ada undang-undang yang mengatur jika perusahaan tidak boleh menahan ijazah). Karena ancaman itu akhirnya aku bisa mendapatkan ijazah aku kembali.

Mei - Juli 2019, aku benar-benar bedrest dikontrakan selama 3 bulan. Lebih banyak istirahat. Karena semasa bekerja dulu aku berangkat kerja pkl 05.30 dan pulang pkl 22.30 (gilakan! Perusahaan keras cuy). Jika jenuh, aku menyibukkan diri dengan melakukan hobby aku yaitu menulis. Sejak kuliah memang aku sudah menulis beberapa novel (tapi tidak naik cetak, hanya upload di forum/situ baca saja). Nah aku lanjut menulis dan aku perjual belikan digoogle play book. Hasilnya lumayan, bisa menambah-nambah tabungan yang semakin menipis. Kalian bisa cek about me.

Agustus 2019, aku mulai apply kerjaan lagi. Tapi hasilnya nihil. Tak ada satupun ada panggilan test atau apapun. Aku mulai merasa gelisah. Tabungan bisa dikatakan habis. Karena panik dengan segala tagihan baik bayar kontrakan dan biaya hidup diperantauan, akhirnya aku mengajukan kredit yang bodohnya menjadi kesalahan terbesarku seumur hidup. Aku bodoh tanpa pikir panjang dengan nominal yang harus ku kembalikan yang ternyata dua kali lipat dan nominal pinjaman yang sangat besar. (Mau nangis darah sekarang.)
Aku putar balik pinjaman itu untuk membayar cicilannya dan juga biaya hidup aku dan adik aku. Kok gak minta orangtua? Jawaban aku hanya satu, gak tega. Orangtua aku juga kesulitan dikampung, gak mau ikut menambah-nambahi.

Oktober 2019, ada panggilan kerja di perusahaan bonafit di Jakarta Timur. Dengan segala proses rekrut yang aneh, aku tetap menerima pekerjaan itu dengan kontak 3 bulan saja (sebagai pengganti karyawan yang cuti melahirkan). Tapi sayangnya di TKP aku merasa down dan merasa pekerjaan itu gak cocok untuk ku. Terlebih lagi itu pekerjaan baru, dengan sistem baru dan tak seorangpun mengajari. Awalnya memang ada 1 orang yang mengajari dengan segala kejudesannya (maaf ya mbak), aku dipaksa bisa menguasai semua pekerjaan dalam waktu setengah hari alias dari pkl 14.00 - 21.00. Hari pertama yang sangat sulit. Tapi aku tidak langsung menyerah, masih berusaha menjalani. Tapi dihari kelima aku mulai merasa tidak bisa melanjutkan pekerjaan itu. Aku pun resign mendadak yang aku ajukan ke outsourcing perusahaan itu. Gilakan aku! Yup sangat gila.
Aku tidak memberitahukan ke orangtua masalah ini.

Desember 2019, aku lewatkan bulan november ya, karena semua flat saja saat itu, kembali ke fase seperti dibulan agustus. Nah, orangtua yang tahu aku habis kontrak desember, menyarankan untuk aku pulang kampung, merayakan natal dan tahun baru bersama keluarga yang sudah 8 tahun lamanya tidak aku rasakan karena merantau dan tidak bisa pulang karena tidak ada biaya.
Aku dan adik aku pun pulang kampung, adik aku kebetulan sudah tidak ada kuliah tinggal menyusun skripsi. Rasanya senang-senang saja saat itu. Merayakan natal dan merasakan kue tahun baru. Walaupun mulai muncul pertanyaan dari orang-orang tentang aku yang tidak bekerja. (Sangat menyebalkan, sangat!) Tapi aku berusaha abai dan sabar saja.

Januari 2020, uang pinjaman habis. Sedangkan cicilan setengahnya saja belum ada. Pusing sepusing-pusingnya. Akhirnya aku jual barang-barang yang bisa aku jual. Tapi ternyata sulit menjual barang dikampung aku yang bisa dikatakan pasaran minat orang tidak ada. Akhirnya aku pinjam uang dari saudara dan orangtua dengan alasan ada cicilan pesawat ketika pulang dulu. Dosa! Ya aku tahu aku sangat berdosa. Tapi dalam hati aku berjanji akan kembalikan jika perlu tiga kali lipatnya.

Februari 2019, semakin kesulitan membayar cicilan. Akhirnya gali lubang tutup lubang. Pinjam kredit dari yang lain untuk bayar cicilan. Begitu terus sampai banyak utang dimana-mana. Sedangkan pekerjaan tak kunjung dapat. Yang terburuk, munculkan virus corona, yang menyebabkan aku semakin kesulitan mencari pekerjaan dengan posisi masih berada dikampung. Lapangan pekerjaan sangat sedikit dan tidak ada yang buka karena virus ini. Aku sangat stress, ingin rasanya mati saja atau melarikan diri. Tapi akal sehatku masih ada walaupun hanya 5%, aku masih punya Tuhan yang pasti sudah menyiapkan rencana yang terbaik buat aku.

Maret 2019, kesulitan masih berlanjut dan uang tidak ada. Masih pinjam sana-sini. Utang semakin menumpuk. Segala cara sudah aku coba, kerja freelence secara online hingga aku belajar design dan jual hasil design secara online.

April 2019, aku tersadar sudah 1 tahun berlalu dan aku tidak kunjung dapat pekerjaan. Merasa menjadi pecundang, tidak berguna dan menjadi beban orangtua. Tidak ada satupun usahaku yang membuahkan hasil. Semua mentok dan tingkat kepercayaan diri semakin tidak ada. Aku selalu menghindar bertemu orang lain bahkan berbicara dengan teman melalui akun sosialpun tidak.

Hal ini sudah berada difase 80%. Bisa dikatakan stress tingkat akut bisa berujung gila. Tapi untungnya sampai saat aku membuat tulisan ini, aku masih dalam keadaan sadar. Puji Tuhan. Masih harus disyukuri.
Hanya bisa berdoa semoga segera mendapat jalan pekerjaan yang baik dan bisa mengembalikan semua utang-utang aku, serta dunia ini bisa sehat kembali dan virus corona go away.

Sampai bertemu ditulisan lainnya.

Salam, pejuang pencari kerja.

Comments