Koperasi kredit atau
Credit Union atau biasa disingkat CU adalah sebuah lembaga keuangan yang
bergerak di bidang simpan pinjam yang dimiliki dan dikelola oleh anggotanya,
dan yang bertujuan untuk menyejahterakan anggotanya sendiri.
Koperasi kredit memiliki
tiga prinsip utama yaitu:
1.
asas swadaya (tabungan hanya diperoleh
dari anggotanya)
2.
asas setia kawan (pinjaman hanya
diberikan kepada anggota), dan
3.
asas pendidikan dan penyadaran (membangun
watak adalah yang utama; hanya yang berwatak baik yang dapat diberi pinjaman).
Credit Union (CU),
diambil dari bahasa Latin “Credere” yang artinya percaya dan “Union” atau
“Unus” berarti kumpulan. Sehingga “Credit Union” memiliki makna kumpulan orang
yang saling percaya, dalam suatu ikatan pemersatu yang sepakat untuk
menabungkan uang mereka sehingga menciptakan modal bersama untuk dipinjamkan
kepada anggota dengan tujuan produktif dan kesejahteraan.
Credit Union
mengumpulkan simpanan tabungan dan saham para Anggotanya untuk mendanai
pinjamannya daripada menggantungkan diri pada sumber keuangan dari luar.
Anggota mendapat keuntungan sebagai pemilik Credit Union dari balas jasa
simpanan yang tinggi, balas jasa pinjaman yang lebih rendah dan dengan rerata
biaya yang lebih sedikit).
Lahirnya Credit Union
Sesungguhnya gerakan
yang mirip dengan CU pertama kali dimulai oleh para pekerja dan penenun Rochdale
di England yang membentuk koperasi konsumtif secara demokratis pada tahun 1840.
Kemudian pada tahun 1852 dan 1864, koperasi ini dikembangkan oleh Hermann
Schulze-Delitzsch dan Friedrich Raiffeisen menjadi gerakan Credit Union di
Jerman.
Adapun perihal kenapa
CU didirikan, yakni dilatar belakangi kala itu pada tahun 1846-1847 Jerman
dilanda krisis ekonomi akibat gagal panen. Kondisi masyarakat Jerman
benar-benar terpuruk pada saat itu. Terjadi musibah kelaparan dan musim dingin
yang hebat. Penyakit banyak menyerang mereka. Kehidupan menjadi sangat kacau.
Para petani yang menggantungkan pada kemurahan alam dibuat tidak berdaya sama
sekali.
Salah seorang pejabat
local setempat yang bernama Henry Wolff, menggambarkan kondisi para petani saat
itu sebagai “Dunia Tak Berpengharapan”. Miskin tak berdaya dan pertanian
berantakan. Masyarakat tidak memiliki uang untuk membeli mesin pertanian,
pupuk, bibit atau membangun peternakan untuk meningkatkan pendapatan. Petani
adalah korban yang paling menderita akibat kala itu.
Masyarakat dari
pedesaan pun bermigrasi secara
besar-besaran ke kota untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Mereka yang
datang ke Kota ini bukanya makin sejahtera, malahan sebaliknya banyak diantara
mereka yang hidup miskin.
Kebanyakan mereka bekerja
sebagai kuli bagi kaum kaya dengan upah seadanya dan jauh dari kata layak.
Namun, ada juga sebagian dari mereka yang mencoba membuka usaha. Modalnya bersumber dari meminjamkan uang kepada kaum lintah darat
atau rentenir.
Uang yang dipinjam
tersebut bunganya yang sangat tinggi. Disamping itu mereka meminta jaminan atas
lahan pertanian mereka. Apabila mereka gagal membayar pada saat jatuh tempo
maka tanah pertanian dan harta benda lain yang mereka gadai langsung disita.
Bahkan sering terjadi harta benda para petani juga menjadi incaran para lintah
darat . Kehidupan para petani pada waktu itu ibarat “gali lobang tutup lobang,
tutup hutang lama, cari hutang baru.”
Kian hari kondisi
kehidupan masyarakat bukannya lebih baik, malahan semakin menderita. Terjadi
kontras antara yang kaya dan yang miskin. Dimana yang miskin tetap
termarginalkan dan yang kaya semakin kaya.
Kondisi petani yang
demikian menimbulkan keprihatinan dan menggugah hati seorang Walikota Flammersfield, dialah Friedrich Wilhelm Raiffeisen yang kala itu
menjabat sebagai Walikota pada tahun
1849.
Untuk mengatasi hal ini
sang Walikota mengumpulkan para pengusaha, kaum kaya dan para dermawan sebanyak
60 orang. Mereka lalu mendirikan Perkumpulan yang dinamakan Perkumpulan
Masyarakat Flamersfeld. “Kaum miskin harus segera ditolong,” begitu kata
Raiffeisen. Seruan sang Walikota pun ditanggapi positif oleh kalangan
pengusaha, kaum kaya dan dermawan.
Singkatnya dana pun
terkumpul, kemudian dijadikan sebagai dana bagi para petani untuk modal membuka
usaha. Dan sang Walikota pun berkeyakinan cara yang dilakukannya itu akan
sangat bisa membantu mengatasi kemiskinan.
Sejumlah dana pun
banyak terkumpul dan kemudian disalurkan kepada para petani yang miskin. Namun
apa yang terjadi, bukannya untuk menolong tetapi malahan dihambur-hamburkan
sehingga tidak terkontrol dengan baik. Dan sejumlah uang yang diberikan
tersebut tidak pernah cukup. Dan para pengusaha, kaum kaya raya dan dermawan
pun enggan lagi memberikan uang.
Meski demikian Friedrich Wilhelm Raiffeisen tidak patah
arang. Strategi baru pun sudah disiapkannya buat mengatasi keadaan sebelumnya.
Ia pun mencetuskan ide agar mengumpulkan roti, maka Raiffeisen pun kemudian
mendirikan Brotveiren, yakni suatu kelompok yang membagi-bagikan roti kepada
kaum miskin.
Tidak hanya itu,
Raiffeisen kemudian mendirikan pabrik roti. Pabrik ini menjual roti kepada
orang yang tidak mampu dengan harga murah. Raiffeisen juga mendirikan
perkumpulan yang bertugas meminjamkan uang dan membeli bibit kentang kepada
petani. Tetapi hal itu ternyata juga tidak menyelesaikan masalah kemiskinan
secara permanen. Kesimpulannya “Hari ini diberi, besok sudah habis” begitu
seterusnya.
Raiffeisen kemudian
pindah ke Heddersdoff dan menjabat lagi menjadi walikota (1852-1865). Dikota
ini dia juga mendirikan perkumpulan yang dinamakan Heddesdorfer Welfare
Organization, yakni suatu organisasi yang bergerak dalam bidang sosial dan
pendidikan. Kemudian organisasi ini dikenal luas oleh masyarakat.
Walaupun
pengorganisasiannya berhasil tetapi kemudian muncul berbagai kendala. Para
penanam modal dari kaum kaya mulai luntur semangatnya, karena keuntungan
organisasi tersebut tidak mereka rasakan. Reiffeisen terus memperbaiki dan
menyempurnakan gagasan terutama mengenai prinsip dan metode pengorganisasian
masyarakat.
Akhirnya ia mengganti
pendekatan dari pendekatan derma dan belas kasihan dengan PRINSIP MENOLONG DIRI
SENDIRI (selfhelp). Raiffeisen selalu
menyatakan bahwa ada hubungan antara kemiskinan dan ketergantungan. Untuk
menghapus kemiskinan, seseorang harus
melawan ketergantungannya.
Ia pun
mempopulerkan apa yang dikenal dengan
formula Tiga S : Self-Help, Self-Governance, Self-responsibility (menolong
diri, memerintah sendiri, bertanggungjawab sendiri). Kebebasan atas
ketergantungan dari pemberian, dari politik dan dari tengkulak.
Ternyata pendekatan ini
sukses. Tahun 1864 Friedrich Wilhelm Raiffeisen mendirikan sebuah organisasi
baru berama “Heddesdorfer Credit Union” dimana kebanyakan anggotanya adalah
para petani.
Untuk menjadi anggota,
seseorang harus berwatak baik, rajin, dan jujur. Untuk mengetahuinya, para
tetangga harus memberikan rekomendasi. Kegiatannya mirip arisan, mengumpulkan
sejumlah uang lalu meminjamkannya kepada anggota yang memerlukan. Manajemen
Heddesdorfer Credit Union dijalankan secara demokratis dengan cara:
11.
Setiap anggota berpartisipasi dalam
rapat anggota.
22. Satu anggota satu suara.
33. Para anggota memilih pengurus dan
membuat pola kebijakan bersama.
44. Dipilih suatu badan yang disebut dengan
pengawas.
55. Pengawas bertugas mengawasi kegiatan
Credit Union dan membuat laporan pengawasan kepada rapat anggota
66. Raiffeisen menekankan kerja sukarela
kepada Pengurus dan Pengawas
77. Yang boleh menerima imbalan hanyalah
kasir purnawaktu yang menjalankan operasional
Organisasi ini
berkembang baik dan berjalan sesuai dengan keinginan sang walikota. Melalui
organisasi anggota yang terlibat memiliki kemampuan untuk bangkit dari
kemiskinan ini secara bertahap kemiskinan mulai berkurang.
Berdasarkan pengalaman
di atas, Friedrich Wilhelm Raiffeisen sang walikota akhirnya memiliki
kesimpulan: Sumbangan tidak menolong kaum miskin, tetapi sebaliknya merendahkan
martabat manusia yang menerimanya.
11. Kesulitan si miskin hanya dapat diatasi
oleh si miskin itu sendiri.
22.
Kemiskinan disebabkan oleh cara berpikir
yang keliru
33. Si miskin harus mengumpulkan uang secara
bersama-sama dan kemudian meminjamkan kepada sesama mereka.
44. Pinjaman harus digunakan untuk tujuan
produktif yang memberikan penghasilan. Jaminan peminjam adalah watak peminjam.
Singkatnya Heddesdorfer Credit Union yang dibangun Raiffeisen, petani dan kaum buruh berkembang pesat di Jerman. Sejak saat itu perlahan-lahan taraf ekonomi kaum buruh para petani miskin menjadi berubah dan baik.
Sampai wafatnya
Raiffeisen tahun 1888, sudah terdapat 425 Credit Union di Jerman. Keberhasilan
Heddesdorfer Credit Union terjadi karena menjalankan 3 prinsip utama; 1.
Kemandirian (Swadaya), 2. Setiakawan (Solidaritas) dan 3. Penyadaran
(Pendidikan) yang akhirnya menjadi prinsip dasar Credit Union yang berkembang
keseluruh dunia. Sejak saat itulah perlahan –lahan Credit Union berkembang ke
berbagai negara diluar Jerman seperti Italia, Perancis, Austria, Inggris,
Kanada, dan Amerika Serikat.
Kelahiran
Credit Union di Indonesia
Menyebut CU di
Indonesia tidak terlepas dari sosok seorang yang bernama lengkap Carolus
Albrecht, SJ, atau yang lebih dikenal dengan nama Karim Arbie ;Seorang pastor
kelahiran Altusried, Augsburg, Jerman
Selatan, pada 19 April 1929. Beliau ditugaskan ke Indonesia pada
Desember 1958, bermula di Girisonta, Jawa Tengah lalu kemudian ke Jakarta dan
Semarang.
Gereja Katolik
menyadari dan memandang pentingnya pemberdayaan ekonomi kerakyatan oleh karena
itu pastor Albrecht, SJ, dan pastor Frans Lubbers, OSC,ditugaskan
mengembangkan CU se-Indonesia bersama
Delegasi Sosial (Delsos). Beragam cara dilakukan guna mensosialisasikan gerakan
CU ini.
Berkat perjuangan dan
kerja keras Karim Arbie dan kawan-kawan, CU berkembang ke berbagai wilayah di
Indonesia. Pada tahun 1990 disaat usia beliau menginjaki 61 tahun ditugaskan ke
Timor-Timur. Situasi konflik sedang melanda eks provinsi ke-27 Indonesia ini.
Beliau ditembakki orang tak dikenal di Dilli, Timor Leste. Gugurlah pahlawan CU
Indonesia ini dengan meninggalkan
mutiara berharga bagi kemajuan gerakan CU sampai kini.
Lahirnya
CU di Kalimantan Barat
Gerakan Credit Union di
Kalimantan Barat dimulai ketika Robby Tulus, A.C. Lunardi, Suharto Nazir, dan
Sukartono dari Badan Koordinasi Koperasi Kredit Indonesia (BK3I) yang
bekerjasama dengan Delegasi Sosial(Delsos) Keuskupan Agung Pontianak mengadakan
kursus dasar bertempat di Nyarumkop dan Sanggau pada 24-28 Agustus 1975.
Kala itu yang mengetuai
Delsos Keuskupan Agung Pontianak adalah Pastor Pius Camperlle, OFM Cap. Tidak
hanya di Keuskupan Agung Pontianak dan Sanggau kegiatan serupa juga rupanya
diadakan juga kursus dasar yang diprakarsai oleh Delsos seperti di Keuskupan
Ketapang dan Sintang.
Kursus dasar yang
diadakan di Nyarumkop dan Sanggau ini diikuti wakil-wakil dari paroki seperti
paroki Pusat Damai, Batang Tarang, Jemongko, Jangkang dan Sanggau. Hasil dari
kursus dasar tersebut didirikanlah Credit Union Lantang Tipo di Bodok dan
Credit Union di Jemongko, Kembayan dan Batang Tarang. Tidak hanya di tempat
tersebut Credit Union juga berdiri disejumlah paroki seperti di Sanggau,
Pahauman, Menjalin, Sambas, Nyarumkop serta Singkawang.
Sudah hampir 10 tahun
berdiri tetapi dari 10 Credit Union yang sudah berdiri itu, perkembangannya
mandeg. Tidak mengalami kemajuan dan malahan ada yang hidup segan mati tak mau.
Semua ini karena manajemen dan daya dukung yang belum memahami gerakan
per-Credit Union-an yang sebenarnya.
Maka kemudian pada
tahun 1985 di Pontianak diadakanlah kursus dasar yang diprakarsai oleh
Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) Keuskupan Agung Pontianak yang saat itu
dikteuai oleh Pius Alfred. Para fasilitator pun dihadirkan dari BK31, yakni H.
Woerwanto dan Theodorus Trisna Ansarli.
Kursus dasar kali ini
melahirkan CU Khatulistiwa Bhakti (KB) Pontianak. Pendirian CU ini dijadikan
sebagai Kopdit laboratorium atau tempat belajar bagi sejumlah CU lainnya.
Seiring perjalanan waktu, CU KB terus berkembang. Pelatihan-pelatihan yang
diprakarsai oleh Delsos (PSE sekarang) menumbuhkan beberapa CU lainnya di
Kalbar termasuk CU Pancur Kasih yang ditumbuhkan oleh Yayasan Karya Sosial
Pancur Kasih.
Karena sudah berdiri
lebih dari 3 CU, maka diperlukan suatu badan yang mengurusi dan mengkoordinir
CU di Kalbar. Kemudian terbentuklah Badan Koordinasi Koperasi Kredit Daerah
Kalbar (BK3D Kalbar) yang diketuai oleh AR. Mecer masa kerja 1988 – 1990. Dan pada tanggal 28 November 1988 diresmikanlah,
yang didahului dengan rapat koordinasi di Delsos Keuskupan Agung Pontianak.
Ketua pertama BK3D ini
adalah A.R Mecer setelah itu diperiode berikutnya digantikan oleh Pius Alfred.
Sempat juga pada massa ini Keuskupan Agung Pontianak tidak mendukung, bahkan
meminta kegiatan CU tidak menggunakan fasilitas Gereja.
Singkatnya, BK3D Kalbar
terbentuk sebagai wadah koordinasi CU-CU di Kalbar. Sejak saat itu CU mulai
berkembang dengan pesat di Kalimantan Barat. Banyak CU-CU yang lahir berkat
pemberdayaan dan fasilitasi yang dilakukan oleh BK3D Kalbar kala itu.
Namun, pengembangan CU
belum terencana dengan baik. Produk dan pelayanan masih konvensional. Dana
fasilitasi dan pendampingan masih sangat terbatas, belum mandiri dan masih
tergantung pada donator. BK3D Kalimantan Barat belum berhasil mengkordinasi
CU-CU yang ada sehingga CU masih berjalan sendiri.
Namun perlahan namun
pasti berkat ketekunan dan komitmen memegang prinsip yang kuat pada tahun
1997-1999, tanda-tanda perkembangan mulai nampak. Manajemen professional mulai
ditampakan, secara internal BK3D Kalbar pun mulai mengangkat karyawan paruh
waktu untuk melaksanakan aktifitas kantor.
CU-CU yang ada mulai
terkordinasi dengan baik dan jelas. Telah dilakukan persamaan presepsi tentang
visi dan misi gerakan CU. Sejak saat itu pola ketergantungan pada donator luar
pun mulai dikurangi dan di alihkan kepada peningkatan keswadayaan dan
kemandirian.
Pada tahun 2000-an
merupakan tonggak dimulainya kebangkitan BK3D Kalbar, dimana prinsip dan
filosofi CU dijalankan dengan penuh konsisten sesuai dengan keadaan lokal.
Sehingga CU di Kalbar memiliki Kekhasan tersendiri, sehingga CU diwilayah ini
disebut juga dengan leading factor perkembangan CU di Indonesia.
Mulai dari situlah
kemudian orang mengenal CU di Kalbar sebagai laboratorium dalam perekonomian
berbasis kerakyatan,sehingga tidak heran banyak orang dari luar dan dalam
negeri yang mempelajari dan study banding tentang konsep CU di Kalbar. Sehingga
kemudian banyak dari mereka itu yang melakukan negosiasi dan minta difasilitasi
agar BK3D Kalbar mendukung pendirian CU di wilayahnya masing-masing.
Satu per satu CU di
luar Kalimantan berdiri dan berkembang dengan konsep CU khas Kalimantan Barat.
Dimulai dari Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan.
Permintaan terus mengalir, maka berdirilah CU di Papua, NTT , Sulawesi , Jawa
Timur, Jawa Tengah,dan Jakarta, dan beberapa daerah lainnya.
Kenapa masyarakat
diluar Kalbar mau mendirikan CU di tempatnya masing-masing tidak lain adalah
karena mereka melihat ada sesuatu yang berbeda di sini. Setelah berbagai daerah
di Indonesia banyak didirikan CU yang difasilitasi oleh BK3D dan bernaung di
bawah BK3D Kalbar. Maka Pada RAT BK3D Kalimantan Barat tahun buku 2003 pada 11
Februari 2004 di Sekadau, nama BK3D di
Kalimantan Barat diubah BK3D Kalimantan –Indonesia.
Sejak saat perubahan
nama dari BK3D Kalbar menjadi BK3D Kalimantan, CU ala Kalimantan menjadi model
baru bagi pengembangan CU di Indonesia. Karena perkembangannya yang sangat
pesat tersebut mendorong para aktivis untuk mengikuti even-even diluar baik di
tingkat Indonesia maupun level Asia. Sejak saat itu CU ala Kalimantan mulai
dikenal dunia luar.
Namun, untuk
mengembalikan prinsip dan nilai-nilai sejati Credit Union, maka melalui
lokakarya Tata Kelola Organisasi CU se -Nusantara anggota BK3DK pada tanggal
2-5 Juli 2008 yang diadakan di Hotel Merpati, Pontianak,BK3DK diubah namanya
menjadi Badan Koordinasi Credit Union Kalimantan (BKCUK) yang digunakan hingga
sekarang.
Dari perjalanan sejarah
CU di Indonesia, berikut ini adalah inisiator awalnya :
1. Albrecht Karim
Arbie, SJ
2. Drs. Robby Tulus
3. Ir. Ibnoe Soedjono
4. John Collins, SJ
5. Raden Mas Margono
Djoyohadikusumo
6. Prof. Dr. Fuad Hasan
7. Mochtar Lubis
8. Prof. Dr. A.M.
Kadarman, SJ
9. A.J. Sumandar
10. John Dijkstra, SJ
11. FX. Bambang Ismawan
12. Frans Lubbers, OSC
13. Nico Susilo
14. Sumitro
15. FX. Susanto
16. Hubertus Woeryanto
17. Theodorus Trisna
Ansarli
18. A.C. Lunardi
19. Suharto Nazir
20. Sukartono
Sumber:
Comments
Post a Comment